Selasa, 08 Oktober 2013

Hanya Cerpen: Surat dari Kakak





         Malam itu aku duduk di depan komputer jinjingku. Koneksi internet cukup kuat. Aku searching sana sini untuk melengkapi tugas kewarganegaraanku. Kala itu aku mencari-cari sumber bacaan mengenai wawasan nusantara. Dan baru saat itu lah, aku mengetahui bahwa wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Ada dua aspek yang menjadi alasan mengapa wawasan nusantara itu penting. Yang pertama adalah aspek fisik geografis. Aspek fisik geografis disini berarti kondisi fisik geografis Indonesia menjadikan keterpisahan antar satu bagian wilayah negara dengan wilayah negara yang lain dalam wilayah Indonesia. Sehingga perlu disadari bahwa Indonesia sesungguhnya rawan terjadinya disintegrasi. Disintegrasi bermakna suatu keadaan tidak bersatu padu. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah terdapat wilayah yang ingin lepas dari NKRI. Ketika itu, yang aku ambil untuk contoh yaitu Aceh dengan GAM-nya yang telah sejak tahun 1976 menghendaki keluar dari Indonesia. OPM (Papua Merdeka) yang saat ini disebut sebagai new guinea, beberapa saudara kita tengah tinggal di negara yang dahulu bernama Irian. Kemudian, Gerakan Bali Merdeka (GBM) yang mana GBM sudah ada sejak zaman pendudukan Soeharto. Hingga contoh-contoh disintegrasi yang lain.
Aspek penting yang kedua yaitu aspek sosio kultural, banyaknya perbedaan di Indonesia, antara lain perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan, hingga perbedaan sosial telah memicu konflik antar suku. Kali ini, aku mengambil contoh kerusuhan yang ada di Ambon sekitaran tahun 1999 hingga 2002. Yang selanjutnya, aku mengambil satu contoh lagi.
Kursor pada laptop aku gerakan menuju sabuah kata yang menarik hatiku. Kursor putih itu berlari lincah, selincah jariku memainkan keyboard yang entah sudah berapa puluh bahkan ratus kali kusentuh. Sekilas kuperhatikan lagi koneksi internet hotspot yang tersambung dari warung hotspot depan kosku. Lanjut, kursor itu kuarahkan pada sebuah kata, dan kata itu berganti warna dari biru ke ungu, seolah siap membuka penjelasan mengenai dirinya jika aku meng-kliknya.
Bukan apa-apa, aku hanya teringat saja kala kata “Poso” aku tekan dengan kursorku. Lalu disana tertulis: Tragedi Poso 1998-2001. Mataku berkaca-kaca, teringat masa lalu yang cukup menyedihkan bagi seorang anak berumur enam tahun, ketika Ayah harus berangkat bertugas ke daerah rawan untuk waktu yang cukup lama, hampir setahun tak pulang seingatku.
Di web tersebut tertulis dua latar belakang mengapa kerusuhan Poso bisa terjadi. Teori  yang pertama yaitu perkara kekuasaan. Disana tertulis demikian:
Teori pertama didukung oleh sebagian dari tokoh masyarakat Poso dan Palu yang ditemui Laskarjihad.or.id. Mereka memandang tragedi Poso ini berasal dari power sharing di Poso sendiri. Proses Politik yang menyebabkan pejabat teras di Poso dihuni oleh orang-orang yang seluruhnya beragama Islam dituding sebagai alasan pecahnya tragedi Poso.
            Sedangkan teori yang kedua bertuliskan demikian:
Teori yang kedua menyatakan bahwa tragedi Poso terjadi karena sebab agama. Pendapat ini diperkuat oleh alasan pembagian kekuasaan diatas. Selain itu ada beberapa kenyataan lain yang mendukung teori ini. Menurut Tajwin Ibrahim, SH, Ketua Serikat Paralegal Muslim (SPM), ada beberapa poin yang menjadi indikasi adanya pengaruh agama dalam pecahnya tragedi kemanusiaan di Poso.
“PERSETAN! Dengan teori-teori tersebut” pikirku.  Aku menangis.
Suatu ketika, ketika aku dan Ibu kehilangan kontak dengan Ayah yang sedang berada di Poso, Sulawesi, kami kelimpungan. Kami merasa takut, takut sekali. Aku hanya memandangi adik perempuanku yang hanya selisih satu tahun dariku. Bagiku kala itu, Ayah adalah orang tua yang paling dekat denganku karena kala Ibu baru saja melahirkan adik, aku hanya bisa bermain dengan Ayah, tidur bersama Ayah minta perhatian dari Ayah. Walau Ayah telah sering meninggalkanku ke luar jawa untuk bertugas. Ya, Ayah adalah seorang anggota brimob Kelapa Dua, yang tergabung dalam resimen satu, dan pengawal presiden elit, dimataku, beliau adalah sosok yang hebat, sosok yang patut kujadikan contoh. Keuletannya, kepandaiannya, ketekunannya, kejujurannya, hingga ke- ke- ke- yang tak terhitung jumlahnya itu. Ayahku hanya putra seorang petani desa yang kolot, yang hanya tahu pekerjaan untuk menyambung hidup yaitu dengan “macul”. Namun semangat Ayah, telah membuatnya merubah nasib hidupnya sendiri. Ayah dengan kepandaiannya berhasil lulus seleksi ABRI hingga spesifikasi tim gegana/penjinak bom atau yang saat ini dikenal dengan densus 88. Dari ribuan orang yang kemudian disaring hingga tinggal beberapa ratus, Ayah berhasil menjadi sepuluh terbaik yang dinobatkan menjadi tim gegana. Ada perbedaan antara tim gegana zamannya dengan tim gegana zaman sekarang. Secara kinerja, tentu tekun yang teliti zaman Ayahku yang bertugas. Tapi sekarang, sering terjadi kesalahan, entah itu kesalahan dari manusianya atau faktor alam. Yang jelas, Ayah adalah sosok yang sangat keren dimataku hingga kapanpun.
Dalam keputus asaan waktu itu, Ibu berinisiatif menulis sebuah suart untuk Ayah disana. Yang ternyata dikabarkan ditangkap atau lebih tepatnya menyerahkan diri pada Pemimpin kelompok "Merah" otak dari pembantaian ratusan penduduk pada kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo untuk bisa bernegosiasi. Mendengar kabar demikian, perasaanku kalang kabut. Ibu juga terus menerus solat malam dan berdoa. Padahal, beberapa hari sebelum kabar itu, Ayah juga mengalami kecelakaan motor disana, ia hampir tewas masuk jurang kala bertugas, hal itu karena ia di berondong beberapa butir peluru dari arah yang tidak Ayah ketahui. Ayah melepas motor, dan memilih berguling jatuh hingga hampir jatuh kejurang, daripada harus mati sia-sia diberondong peluru.
Ya, tetangga-tetanggaku di asrama brimob kedunghalang Bogor kala itu terus memberi semangat bagi keluarga kami. Tak jarang, sesekali aku membayangkan seperti apa rasanya bila tak punya Ayah? Aku teringat Krisna.
“Gimana rasanya Kris nggak punya papa?”
Krisna hanya diam kala kutanyai, dia teman bermainku, juga teman sekolahku di SD Bhayangkari, yang terletak berhadapan dengan kantor batalyon D, gedung putih indah yang mana berjajar pohon jambe dengan tinggi yang sama, dan patung burung garuda dengan air mancur yang dikelilingi rantai. Nampak indah sekali. Sekolahku juga terletak dekat barak pasukan brimob, disana terparkir kendaraan besar, sungguh besar, bahkan roda ban truk itu hampir sebesar rumah mungkin. Dihari-hari tertentu, warga asrama dan warga kampung setempat sering diwajibkan tetap berada didalam rumah untuk selang beberapa jam. Karena dari pihak pasukan tak ingin ada korban kala mereka mengadakan latihan menggunakan senjata api laras panjang. Kami, para anak asrama sering kegirangan, beberapa menit setelah para pasukan itu usai berlatih. Pasalnya, kami akan memungut selongsong peluru yang berserakan di pelataran rumah, dijalan, hingga ketempat-tempat tersembunyi lain. selongsong itu mungkin sebesar telunjuk orang dewasa. Pertama memegang selongsong yang baru saja terlontar, mungkin akan terasa sedikit panas. Namun, bagi kami, panas yang terhantar begitu mengasyikan.
Tak tahu kah kalian, aku bisa mengumpulkan puluhan selongsong peluru. Girang sekali rasanya kala itu. Setiap hari, dipagi dan sore hari juga pasti para pasukan mengadakan lari keliling asrama sambil menyanyikan lagu-lagu penyemangat, tak jarang juga, aku bersama kawan lain ikut berlari, mengekor dibelakang dan ikut menyanyikan lagu yang hampir kami hafal semua lirik lagunya itu.
Ya, diusia enam tahun, aku sudah dapat menulis. Walau belum begitu bagus. Isi suratku tak panjang. Hanya bercerita seputar kepindahanku dari TK Kemala Bhayangkari 5 hingga aku masuk SD Bhayangkari, karena bahkan mungkin Ayah belum bisa membayangkan aku memakai seragam merah putih. Karena ketika Ayah pergi, aku masih duduk di bangksu TK. Inti isi suratku yaitu:
Kapan Ayah akan pulang?, sekarang Dian udah gede. Dedek juga masuk SD, nggak mau TK dulu kayak Kak Dian......Kakak kangen Ayah.
Hari berganti hari. Akhirnya ada kabar mengejutkan dari kantor Ayah. Pasukan resimen satu dipulangkan ke jawa. Aku sekeluarga menanti antusias. Kami terus menanti-nanti kabar. Aku hanya membayangkan, pesawat Hercules itu kembali pulang membawa serta Ayahku.
Hingga truk-truk bertuliskan Polisi Brimob lalu lalang didepan rumah. Satu yang berhenti tepat didepan rumah. Aku mengumpat diblik tubuh Ibu. sebuah peti berwarna cokelat diturunkan. Aku kaget sekali! Apa isinya! Jangan bilang kalau........,
Akh, tidak!
Seiring dengan itu. Terlihat sosok yang turun dari muka truk. Duduk dekat driver rupanya. Sosok tinggi, tegap, gagah, dan tampan itu turun ditopang rakan lain. Dan sebuah tongkat dijepitkan diketiaknya.
Ayah???

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar