Malam itu aku duduk di
depan komputer jinjingku. Koneksi internet cukup kuat. Aku searching sana sini untuk melengkapi tugas kewarganegaraanku. Kala
itu aku mencari-cari sumber bacaan mengenai wawasan nusantara. Dan baru saat
itu lah, aku mengetahui bahwa wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Ada dua aspek yang menjadi
alasan mengapa wawasan nusantara itu penting. Yang pertama adalah aspek fisik
geografis. Aspek fisik geografis disini berarti kondisi fisik
geografis Indonesia menjadikan keterpisahan antar satu bagian wilayah negara
dengan wilayah negara yang lain dalam wilayah Indonesia. Sehingga perlu
disadari bahwa Indonesia sesungguhnya rawan terjadinya disintegrasi.
Disintegrasi bermakna suatu keadaan tidak bersatu padu. Dalam hal ini, yang
dimaksud adalah terdapat wilayah yang ingin lepas dari NKRI. Ketika itu, yang
aku ambil untuk contoh yaitu Aceh dengan GAM-nya yang telah sejak tahun 1976
menghendaki keluar dari Indonesia. OPM (Papua Merdeka) yang saat ini disebut
sebagai new guinea, beberapa saudara kita tengah tinggal di negara yang dahulu
bernama Irian. Kemudian, Gerakan Bali Merdeka (GBM) yang mana GBM sudah ada
sejak zaman pendudukan Soeharto. Hingga contoh-contoh disintegrasi yang lain.
Aspek penting yang
kedua yaitu aspek sosio kultural, banyaknya perbedaan di Indonesia, antara lain
perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan, hingga perbedaan
sosial telah memicu konflik antar suku. Kali ini, aku mengambil contoh
kerusuhan yang ada di Ambon sekitaran tahun 1999 hingga 2002. Yang selanjutnya,
aku mengambil satu contoh lagi.
Kursor pada laptop aku
gerakan menuju sabuah kata yang menarik hatiku. Kursor putih itu berlari
lincah, selincah jariku memainkan keyboard yang entah sudah berapa puluh bahkan
ratus kali kusentuh. Sekilas kuperhatikan lagi koneksi internet hotspot yang tersambung dari warung hotspot depan kosku. Lanjut, kursor itu
kuarahkan pada sebuah kata, dan kata itu berganti warna dari biru ke ungu,
seolah siap membuka penjelasan mengenai dirinya jika aku meng-kliknya.
Bukan apa-apa, aku
hanya teringat saja kala kata “Poso” aku tekan dengan kursorku. Lalu disana
tertulis: Tragedi Poso 1998-2001.
Mataku berkaca-kaca, teringat masa lalu yang cukup menyedihkan bagi seorang
anak berumur enam tahun, ketika Ayah harus berangkat bertugas ke daerah rawan
untuk waktu yang cukup lama, hampir setahun tak pulang seingatku.
Di web tersebut tertulis
dua latar belakang mengapa kerusuhan Poso bisa terjadi. Teori yang pertama yaitu perkara kekuasaan. Disana
tertulis demikian:
Teori
pertama didukung oleh sebagian dari tokoh masyarakat Poso dan Palu yang ditemui
Laskarjihad.or.id. Mereka memandang tragedi Poso ini berasal dari power sharing
di Poso sendiri. Proses Politik yang menyebabkan pejabat teras di Poso dihuni
oleh orang-orang yang seluruhnya beragama Islam dituding sebagai alasan
pecahnya tragedi Poso.
Sedangkan teori yang kedua
bertuliskan demikian:
Teori
yang kedua menyatakan bahwa tragedi Poso terjadi karena sebab agama. Pendapat
ini diperkuat oleh alasan pembagian kekuasaan diatas. Selain itu ada beberapa
kenyataan lain yang mendukung teori ini. Menurut Tajwin Ibrahim, SH, Ketua
Serikat Paralegal Muslim (SPM), ada beberapa poin yang menjadi indikasi adanya
pengaruh agama dalam pecahnya tragedi kemanusiaan di Poso.
“PERSETAN! Dengan
teori-teori tersebut” pikirku. Aku
menangis.
Suatu ketika, ketika
aku dan Ibu kehilangan kontak dengan Ayah yang sedang berada di Poso, Sulawesi,
kami kelimpungan. Kami merasa takut, takut sekali. Aku hanya memandangi adik
perempuanku yang hanya selisih satu tahun dariku. Bagiku kala itu, Ayah adalah
orang tua yang paling dekat denganku karena kala Ibu baru saja melahirkan adik,
aku hanya bisa bermain dengan Ayah, tidur bersama Ayah minta perhatian dari
Ayah. Walau Ayah telah sering meninggalkanku ke luar jawa untuk bertugas. Ya,
Ayah adalah seorang anggota brimob Kelapa Dua, yang tergabung dalam resimen
satu, dan pengawal presiden elit, dimataku, beliau adalah sosok yang hebat,
sosok yang patut kujadikan contoh. Keuletannya, kepandaiannya, ketekunannya,
kejujurannya, hingga ke- ke- ke- yang tak terhitung jumlahnya itu. Ayahku hanya
putra seorang petani desa yang kolot, yang hanya tahu pekerjaan untuk
menyambung hidup yaitu dengan “macul”. Namun semangat Ayah, telah membuatnya merubah
nasib hidupnya sendiri. Ayah dengan kepandaiannya berhasil lulus seleksi ABRI
hingga spesifikasi tim gegana/penjinak bom atau yang saat ini dikenal dengan
densus 88. Dari ribuan orang yang kemudian disaring hingga tinggal beberapa
ratus, Ayah berhasil menjadi sepuluh terbaik yang dinobatkan menjadi tim
gegana. Ada perbedaan antara tim gegana zamannya dengan tim gegana zaman
sekarang. Secara kinerja, tentu tekun yang teliti zaman Ayahku yang bertugas.
Tapi sekarang, sering terjadi kesalahan, entah itu kesalahan dari manusianya
atau faktor alam. Yang jelas, Ayah adalah sosok yang sangat keren dimataku
hingga kapanpun.
Dalam keputus asaan
waktu itu, Ibu berinisiatif menulis sebuah suart untuk Ayah disana. Yang
ternyata dikabarkan ditangkap atau lebih tepatnya menyerahkan diri pada Pemimpin
kelompok "Merah" otak dari pembantaian ratusan penduduk pada
kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo untuk
bisa bernegosiasi. Mendengar kabar demikian, perasaanku kalang kabut. Ibu juga
terus menerus solat malam dan berdoa. Padahal, beberapa hari sebelum kabar itu,
Ayah juga mengalami kecelakaan motor disana, ia hampir tewas masuk jurang kala
bertugas, hal itu karena ia di berondong beberapa butir peluru dari arah yang
tidak Ayah ketahui. Ayah melepas motor, dan memilih berguling jatuh hingga
hampir jatuh kejurang, daripada harus mati sia-sia diberondong peluru.
Ya, tetangga-tetanggaku
di asrama brimob kedunghalang Bogor kala itu terus memberi semangat bagi
keluarga kami. Tak jarang, sesekali aku membayangkan seperti apa rasanya bila
tak punya Ayah? Aku teringat Krisna.
“Gimana rasanya Kris
nggak punya papa?”
Krisna hanya diam kala
kutanyai, dia teman bermainku, juga teman sekolahku di SD Bhayangkari, yang
terletak berhadapan dengan kantor batalyon D, gedung putih indah yang mana berjajar
pohon jambe dengan tinggi yang sama, dan patung burung garuda dengan air mancur
yang dikelilingi rantai. Nampak indah sekali. Sekolahku juga terletak dekat
barak pasukan brimob, disana terparkir kendaraan besar, sungguh besar, bahkan
roda ban truk itu hampir sebesar rumah mungkin. Dihari-hari tertentu, warga
asrama dan warga kampung setempat sering diwajibkan tetap berada didalam rumah
untuk selang beberapa jam. Karena dari pihak pasukan tak ingin ada korban kala
mereka mengadakan latihan menggunakan senjata api laras panjang. Kami, para
anak asrama sering kegirangan, beberapa menit setelah para pasukan itu usai
berlatih. Pasalnya, kami akan memungut selongsong peluru yang berserakan di
pelataran rumah, dijalan, hingga ketempat-tempat tersembunyi lain. selongsong
itu mungkin sebesar telunjuk orang dewasa. Pertama memegang selongsong yang
baru saja terlontar, mungkin akan terasa sedikit panas. Namun, bagi kami, panas
yang terhantar begitu mengasyikan.
Tak tahu kah kalian,
aku bisa mengumpulkan puluhan selongsong peluru. Girang sekali rasanya kala
itu. Setiap hari, dipagi dan sore hari juga pasti para pasukan mengadakan lari
keliling asrama sambil menyanyikan lagu-lagu penyemangat, tak jarang juga, aku
bersama kawan lain ikut berlari, mengekor dibelakang dan ikut menyanyikan lagu
yang hampir kami hafal semua lirik lagunya itu.
Ya, diusia enam tahun,
aku sudah dapat menulis. Walau belum begitu bagus. Isi suratku tak panjang.
Hanya bercerita seputar kepindahanku dari TK Kemala Bhayangkari 5 hingga aku
masuk SD Bhayangkari, karena bahkan mungkin Ayah belum bisa membayangkan aku
memakai seragam merah putih. Karena ketika Ayah pergi, aku masih duduk di
bangksu TK. Inti isi suratku yaitu:
Kapan
Ayah akan pulang?, sekarang Dian udah gede. Dedek juga masuk SD, nggak mau TK
dulu kayak Kak Dian......Kakak kangen Ayah.
Hari berganti hari.
Akhirnya ada kabar mengejutkan dari kantor Ayah. Pasukan resimen satu
dipulangkan ke jawa. Aku sekeluarga menanti antusias. Kami terus menanti-nanti
kabar. Aku hanya membayangkan, pesawat Hercules itu kembali pulang membawa
serta Ayahku.
Hingga truk-truk
bertuliskan Polisi Brimob lalu lalang didepan rumah. Satu yang berhenti tepat
didepan rumah. Aku mengumpat diblik tubuh Ibu. sebuah peti berwarna cokelat
diturunkan. Aku kaget sekali! Apa isinya! Jangan bilang kalau........,
Akh, tidak!
Seiring dengan itu.
Terlihat sosok yang turun dari muka truk. Duduk dekat driver rupanya. Sosok
tinggi, tegap, gagah, dan tampan itu turun ditopang rakan lain. Dan sebuah
tongkat dijepitkan diketiaknya.
Ayah???
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar